Selasa, 26 Juli 2011

Hikmah Diharamkannya Riba

Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi
melindungi

kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun
perekonomiannya.

Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh
Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:

1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab
orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia
dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu
merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar,
seperti

apa yang disebut dalam hadis Nabi:

"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."11
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.

2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja.
Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan
beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan
mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia
tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang
berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan
n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa
kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan,
pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.

(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang
dari

segi perekonomian).

3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama
manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka
seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya
satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti
kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham
dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah
perasaan belas-kasih dan kebaikan.

(Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).

4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam
adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti
memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang
lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang
yang memperoleh rahmat Allah.

(Ini ditinjau dari segi sosial).

Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap
orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par
l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang
miskin

tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas
masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan
golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api
terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada
pemberontakan

oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.

Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba
terhadap

politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.

4.2.12.2 Pemberi Riba dan Penulisnya

Pemakan riba ialah pihak pemberi piutang yang memiliki uang dan meminjamkan
uangnya itu kepada peminjam dengan rente yang lebih dari pokok. Orang yang
semacam ini tidak diragukan lagi akan mendapat laknat Allah, dan laknat
seluruh manusia. Akan tetapi Islam, dalam tradisinya tentang masalah haram,
tidak hanya membatasi dosa itu hanya kepada yang makan riba, bahkan
terlibat

dalam dosa orang yang memberikan riba itu, yaitu yang berhutang dan
memberinya rente kepada piutang. Begitu juga penulis dan dua orang
saksinya.

Seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi:

"Allah akan melaknat pemakan riba, yang memberi makan, dua orang saksinya
dan jurutulisnya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Nasa'i dan Ibnu
Majah)
Tetapi apabila di situ ada suatu keharusan yang tidak dapat dihindari dan
mengharuskan kepada si peminjam untuk memberinya rente, maka waktu itu
dosanya hanya terkena kepada si pengambil rente saja.

Namun dalam hal ini diperlukan beberapa syarat:

Adanya suatu keadaan dharurat yang benar-benar, bukan hanya sekedar ingin
kesempurnaan kebutuhan. Sedang apa yang disebut dharurat, yaitu satu hal
yang tidak mungkin dapat dihindari, apabila terhalang, akan membawa
kebinasaan. Seperti makanan pokok, pakaian pelindung dan berobat yang mesti
dilakukan.
Kemudian perkenan ini hanya sekedar dapat menutupi kebutuhan, tidak boleh
lebih. Maka barangsiapa yang kiranya cukup dengan ¤9,- (9 pounds) misalnya,
tidak halal hutang ¤10,-.
Dari segi lain, dia harus terus berusaha mencari jalan untuk dapat lolos
dari kesulitan ekonominya. Dan rekan-rekan seagamanya pun harus membantu
dia

untuk inengatasi problemanya itu. Jika tidak ada jalan lain kecuali dengan
meminjam dengan riba, maka barulah dia boleh melakukan, tetapi tidak boleh
dengan kesengajaan dan melewati batas. Sebab Allah adalah Maha Pengampun
dan

Penyayang.
Dia berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan tidak senang. Begitulah
sehingga Allah memberikan jalan keluar kepadanya.

4.2.12.3 Rasulullah Selalu Minta Perlindungan pada Allah dari Berhutang

Satu hal yang perlu diketahui oleh setiap muslim tentang hukum agamanya,
yaitu agama menyuruh supaya dia berlaku lurus dan sederhana dalam hidup dan
kehidupannya.

Firman Allah:

"Dan jangan kamu berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak suka kepada
orang

yang berlebih-lebihan." (al-An'am: 141)
"Jangan kamu boros, karena sesungguhnya orang yang boros adalah kawan
syaitan." (al-Isra': 26-27)

Kalau al-Quran menuntut kepada orang-orang mu'min supaya menginfaqkan harta
kekayaannya, maka al-Quran tidak menuntut kepada mereka melainkan supaya
menginfaqkan sebagian harta, bukan semuanya. Sebab siapa yang mendermakan
sebagian hartanya, maka sedikit sekali dia akan berkekurangan,

Dengan kesederhanaan ini maka seorang muslim tidak lagi perlu berhutang,
lebih-lebih Nabi sendiri tidak suka seorang muslim membiasakan berhutang.
Sebab hutang dalam pandangan seorang muslim yang baik, adalah merupakan
kesusahan di malam hari dan suatu penghinaan di siang hari. Justru itu Nabi
selalu minta perlindungan kepada Allah dari berhutang. Doa Nabi itu sebagai
berikut:

"Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadamu dari terlanda hutang dan dalam
kekuasaan orang lain." (RiwayatAbu Daud)
Dan ia bersabda pula:

"Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan hutang. Kemudian ada
seorang laki-laki bertanya: Apakah engkau menyamakan kufur dengan hutang ya
Rasulullah? Ia menjawab: Ya!" (Riwayat Nasa'i dan Hakim)
Dan kebanyakan doa yang dibaca di dalam sembahyangnya ialah:

"Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari berbuat dosa dan hutang.
Kemudian ia ditanya: Mengapa Engkau banyak minta perlindungan dari hutang
ya

Rasulullah? Ia menjawab: Karena seseorang kalau berhutang, apabila
berbicara

berdusta dan apabila berjanji menyalahi." (Riwayat Bukhari)
Ia menjelaskan, bahwa dalam hutang itu ada suatu bahaya besar terhadap
budipekerti seseorang.

Beliau tidak mau menyembahyangi janazah, apabila diketahui bahwa waktu
meninggalnya itu dia masih mempunyai tanggungan hutang padahal dia tidak
dapat melunasinya, sebagai usaha untuk menakut-nakuti orang lain dari
akibat

hutang. Sehingga apabila dia mendapat ghanimah, maka beliau sendiri yang
menyelesaikan hutangnya itu.

Dan sabdanya:

"Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya melainkan hutang."
(Riwayat Muslim)
Berdasar penjelasan ini, maka seorang muslim tidak boleh berhutang kecuali
karena sangat perlu. Dan kalaupun dia terpaksa harus berhutang, samasekali
tidak boleh melepaskan niat untuk membayar. Sebab dalam hadis Rasulullah
s.a.w. disebutkan:

"Barangsiapa hutang uang kepada orang lain dan berniat akan
mengembalikannya, maka Allah akan luluskan niatnya itu; tetapi barangsiapa
mengambilnya dengan Niat akan membinasakan (tidak membayar), maka Allah
akan

merusakkan dia." (Riwayat Bukhari)
Kalau seorang muslim tidak dibolehkan hutang tanpa rente, padahal hutang
adalah mubah, kecuali karena dharurat, dan didesak oleh suatu keperluan,
maka bagaimana lagi kalau hutangnya itu bersyarat harus dibayar dengan
rente?!

4.2.12.4 Menjual Kredit dengan Menaikkan Harga

Termasuk yang perlu untuk disebutkan di sini, yaitu sebagaimana
diperkenankan seorang muslim membeli secara kontan, maka begitu juga dia
diperkenankan menangguhkan pembayarannya itu sampai pada batas tertentu,
sesuai dengan perjanjian.

Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan
tempo, untuk nafkah keluarganya. Begitu juga beliau pernah menggadaikan
baju

besinya kepada orang Yahudi. (12. Bukhari.)

Sekarang apabila si penjual itu menaikkan harga karena temponya,
sebagaimana

yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit,
maka sementara fuqaha' ada yang mengharamkannya dengan dasar, bahwa
tambahan

harga itu justru berhubung masalah waktu. Kalau begitu sama dengan riba.

Tetapi jumhurul ulama membolehkan, karena pada asalnya boleh, dan nas yang
mengharamkannya tidak ada; dan tidak bisa dipersamakan dengan riba dari
segi

manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut
yang

pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman. Kalau
sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram.

Imam Syaukani berkata: "Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali,
al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang
menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat." (13. N. Authar 5:
153.)

4.2.12.5 Salam

Sebalik di atas, yaitu seorang muslim dibenarkan membayar uang lebih dahulu
untuk barang yang akan diterimanya kemudian.

Cara semacam ini dalam fiqih Islam disebut salam.

lni salah satu macam mu'amalah yang waktu itu biasa berlaku di Madinah.
Akan

tetapi Nabi Muhammad s.a.w. ikut mencampuri persoalan tersebut dengan
memberikan beberapa pedoman dan persyaratan, untuk disesuaikan dengan
tuntunan syariat Islam.

Ibnu Abbas meriwayatkan: bahwa ketika Rasulullah s.a.w. tiba di Madinah,
orang-orang pada menjalankan pengikat untuk. buah-buahan dalam jangka waktu
setahun dan dua tahun. Kemudain Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Barangsiapa mencengkerami buah-buahan, maka cengkeramilah dengan suatu
takaran tertentu, dan timbangan tertentu pada batas waktu tertentu."
(Riwayat Jam'ah)
Dengan membatas takaran, timbangan dan jangka waktu ini, maka akan
hilanglah

pertentangan dan kesamaran. Tetapi di samping itu mereka juga mengadakan
ikatan untuk jenis buah korma yang masih di pohon, maka dilarangnyalah hal
itu oleh Nabi s.a.w. karena terdapat unsur-unsur kesamaran. Sebab
kadang-kadang potion korma itu akan terserang hama sehingga tidak bisa
berbuah.

Jadi bentuk yang paling selamat dan aman dalam mu'amalah seperti ini, yaitu
tidak bersyarat dengan jenis kormanya atau jenis gandumnya, tetapi yang
penting ialah syarat takaran dan timbangan.

Tetapi kalau di situ terdapat unsur-unsur pemerkosaan (exploitation) yang
terang-terangan oleh pihak pemilik kebun, sehingga karena didorong oleh
keperluan, terpaksa si pemberi ikatan harus menerima perjanjian tersebut,
maka waktu itu dapat dihukumi haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar