Rabu, 20 Juli 2011

Buat Apa Bersikap Sombong ?

Tulisan indah itu kubaca
dengan haru, “Aku berpesan
kepadamu untuk membaca
kisah hidup orang-orang
shaleh; para shahabat Nabi,
tabi’in, ahli ibadah dan ahli zuhud dari kalangan
ahlussunnah. Berhentilah
sejenak pada kabar-kabar
mereka. Dan bacalah
perjalanan hidup mereka.
Karena itu akan memompa semangatmu dan menorehkan
kehausan untuk meneladani
mereka. Atau setidaknya
membuatmu malu terhadap
dirimu sendiri. Malu kepada
Rabbmu saat engkau membandingkan hidup mereka
dengan hidupmu. Maka
tadaburilah kisah-kisah
mereka. Hiduplah bersama
mereka; dalam kezuhudan,
kewara’an, penghambaan, rasa khauf kepada Allah,
ketawadhu’an, keindahan
budi pekerti dan kesabaran
mereka...” (DR. ‘Aidh al Qarni,
Hakadza Haddatsana az
Zaman, hal : 283-384) Para pendahulu kita yang
jumlah pakaiannya bisa
dihitung dengan jari,
sedangkan diri ini memiliki
bertumpuk-tumpuk baju di
lemari, jumlah lemarinya pun banyak, kalau mau
menyumbangkan, dipilah-pilih
dalam waktu yang lama. Para
pendahulu kita makan dan
minum dengan sederhana,
beralaskan tikar dan lauk- pauk sekedarnya, dan dengan
sederhana seperti itu pun,
mereka tetap gemar
bersedekah, namun diri ini
harus menuruti mood, maunya
makanan ini-itu, duduk di kursi empuk atau sofa,
hidangan lengkap bahkan
sering tersisa banyak akibat
lapar mata. Para pendahulu
kita rela memiliki jam tidur
yang hanya sedikit, waktu- waktu hidupnya penuh ukiran
menimba ilmu, memahami Al-
Qur’an dan sunnah Rasul-
NYA, sujud malam tak
tertinggal, dhuha pun tak
terlewatkan. Sungguh hal itu menguras air mata, malu,
sungguh malu dengan para
pendahulu kita, yang mereka
yakini bahwa mereka
memerlukan Sang Khaliq untuk
berlindung dan meminta rahmatNYA, agamaNYA akan
tetap kokoh dan tegak
dengan utuh walaupun tiada
kita hadir berkontribusi di
dalamnya. Mereka yang sangat menjaga
ibadah wajib serta
mengoptimalkan yang sunnah,
namun tetap rendah hati dan
menjaga jiwa agar terjauh
dari keangkuhan. Rasulullah — Shallallahu 'Alaihi Wassallam—
yang merupakan “Al-Qur’an
berjalan” serta dijamin Allah
SWT untuk berada di
jannahNYA, tidak pernah
sedikit pun mencemooh atau mencela orang lain. Siapapun
selalu beliau hargai meskipun
kaum non-muslim. Para
shahabat yang telah diberiNYA
ilmu dunia akhirat pun, yang
sudah punya “posisi jadi tetangga Rasulullah SAW” di
surga, sedikit pun tak ada
kita baca riwayat mereka
berlaku sombong atau
membanggakan diri. Para pendahulu yang penuh
keteladanan diri namun
“kepopulerannya di zaman
ini” sering terpinggirkan
akibat tontonan anak muda
semacam film-film remaja, group-band, penyanyi
terkenal, dsb. Mereka sering
berkata, “Cukuplah dengan
ilmu, membuat (seseorang)
takut kepada Allah Subhanahu
Wa Ta'ala. Dan cukuplah dengan kebodohan, membuat
(seseorang) lalai mengingat
Allah SWT”. Namun di arus modern tanpa
batas ini, Ilmu bagi seseorang
bisa menjadi penggusur
keimanan, penyubur
kesombongan, serta pemutus
urat-urat malu. Ilmu dipakai untuk mencari kekayaan semu
yang banyak, semegah-
megahnya. Sungguh ironis.
Contoh nyata saat ibundaku
bercerita kejadian di Baitulloh
enam tahun lalu, perjalanan haji beliau. Saat itu beliau
sering diberi hadiah oleh
teman-teman baru (yang
berjumpa di sana) dari
berbagai negara, dan suatu
kali saat duduk makan, menikmati hidangan khas lokal,
ada sepasang jama’ah yang
sedang disapa oleh seorang
nenek. Ternyata pasangan
suami-istri itu ingin keluar
mencari restoran, nenek di dekatnya berkata, “Sudah
malam bu, ini juga makanan
kan banyak, besok saja
beramai-ramai nyari
restonya...” Dengan ketus, si istri yang
ternyata seorang dokter
dengan penampilan cantik dan
anggun berkata agak ketus,
“Bukan apa-apa nek, perut
kami udah lapar nih.. Saya tau spesialnya perut maunya apa,
makanan ini gak cocok dengan
lidahku. Yok, cepetan mas..”,
seraya menarik lengan
suaminya, selanjutnya segera
mencari taksi. Namun sungguh di luar dugaan, suaminya lupa
nasehat para pembimbing
untuk mendahulukan laki-laki
jika menaiki transportasi lokal,
alhasil saat si istri buru-buru
naik taksi, taksi langsung berlari kencang, wuuusss..
meninggalkan suaminya yang
terbengong-bengong lalu
berteriak kebingungan. Singkat cerita, memilukan, 3
hari setelah itu, usaha suami
mencari istrinya ke beberapa
rumah sakit disana berujung
pada pertemuan terakhir. Hari
itu, sudah senja, suami tersebut berjumpa sang istri
saat akan menghembuskan
nafas terakhir. Sang istri
penuh darah di semua bagian
tubuh, terutama alat vital,
telinga, mulut, dll. Entahlah penyiksaan apa yang berlaku
padanya, berbisik pada
suaminya, “Papa.. ikhlaskan
mama, mama hancur pa,
diserang delapan orang, tak
ada tenaga lagi, sakiiiit semuanya, tubuh mama tidak
berguna lagi pa..”, kira-kira
redaksinya begitu, semua
jama’ah di sana (yang
mengenal sang suami) begitu
miris dan berduka cita sangat mendalam, sang istri menutup
mata dan dimakamkan di sana.
Tak ada yang berani
berkomentar apa-apa, namun
saat tiba di tanah air, para
jama’ah hanya menyampaikan nasehat kepada keluarganya,
“ingat yah, setinggi apa pun
ilmu kamu, hati-hati dengan
lidah, apalagi saat pergi haji,
cepat sekali Allah SWT
menurunkan balasan.. bersikaplah rendah hati,
makanan yang disediakan,
syukuri dengan ikhlas, jangan
berkeluh kesah..”, dan kalimat
lain yang membuatku juga
merinding mengingat kebesaranNYA. Allah SWT mengingatkan dalam
firmanNya, “Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu
dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS.
Luqman [31] :18) Seorang teman yang dulu
terjaga budi pekertinya, lalu
Allah SWT telah membekalinya
ilmu yang makin banyak,
ternyata ia tergoda untuk
membuat laporan “yang merupakan laporan palsu”
demi bonus yang didapat dari
system kolusi dan korupsi, tak
heran, semua koruptor adalah
“orang-orang pintar”, otak-
atik komputer dengan santai, tanda tangan ini-itu dengan
mudah, tangan bergerak
lincah dan langkah kaki juga
lancar, naik turun mobil
mewah, atas usaha-usaha
yang tadinya (mungkin murni halal dalam bekerja), lalu
(tertular) bercampur haram.
Akhirnya terus-menerus tidak
peduli lagi, sikat yang haram
asalkan mewah dan nyaman,
naudzubillahi minzaliik. Padahal cobalah kita
renungkan, ilmu yang dipunyai
pun, adalah milik Allah SWT.
Siapapun akan hilang
“kejayaan” jika tiba saatnya
nikmat berilmu ini diambilNYA kembali. Contoh nyata dokter
S, favorit keluargaku, sejak
zaman kakak sulung hingga
generasi anakku lahir di tanah
air, konsultasi kepada beliau,
khusus masalah anak-anak. Lalu saat ini beliau sudah
berada di kursi roda, separuh
badannya tak bisa bergerak,
beliau tak lagi dinas, “Saya
sudah lupa.. hmmm, lupa..”,
lirihnya kalau ditanya tentang sesuatu. “yah.. namanya juga
sudah tua, jadi kita yang
muda ini harus ingat, bahwa
nanti ada masa pikun lho..”,
celetuk anaknya. Pengalaman seorang teman
yang mengisahkan bahwa
seniornya, seorang doktor
yang sedang menjalani S3,
tiba-tiba jatuh tersungkur di
suatu acara, lalu mengalami koma berbulan-bulan hingga
kini, dengan kesimpulan urat-
urat syaraf di otaknya
terserang bakteri, hal ini juga
harus menambah keimanan
kita bahwa Allah SWT bisa mencabut nikmat sehat dan
berilmu kapan pun juga,
padahal rencananya dua bulan
lagi beliau lulus pendidikannya. Dokter Agus, ustadz sekaligus
guru biologiku di Bina Ilmi
zaman SMU juga pernah
menjelaskan tentang anatomi
tubuh manusia, lalu saat
beliau menunjukkan tengkorak kepala, dan berkata, “Buat
apa kita sombong, cantik atau
tampan, pintar atau banyak
ilmu lantas bisa sombong ?
Cobalah lihat ini! Rangka inilah
yang tertinggal nantinya, lalu semakin lama akan hancur
pula dimakan pengurai..,”
ujarnya seraya menunjukkan
tengkorak tersebut lekat-
lekat pada murid-muridnya. Dulunya kupikir bahwa “isi
kepala kita” pasti abadi, ilmu
yang diperoleh di setiap
bangku sekolah, atau dalam
praktek laboratorium, dsb,
pasti menempel terus di otak. Namun ternyata para dosenku
di masa kuliah menjelaskan
lebih detail, bukanlah “ilmu”
itu yang abadi menempel di
otak, tapi Ilmu Allah SWT
memang abadi. Ilmu pengetahuan yang kita serap
(yang hanya secuil ini)
merupakan titipan Allah SWT,
tak ada yang abadi untuk
semua titipanNYA. Kelak yang
menemani hari di saat perhitungan akhir adalah
Amalan diri, maka Ilmu tanpa
amalan adalah sia-sia. Maka,
apalah guna sombong,
bukankah dalam pengamalan
keilmuan sehari-hari kita butuh orang lain, benar toh ?
Berhentilah berpikir bahwa
kita menolong si anu, si itu,
coba balikkan pernyataan
bahwa si anu dan si itu telah
menolong kita untuk menjadi orang yang beramal. Begitu
pun seorang dokter yang
bijak, ia pasti merasa bahwa
dirinya memerlukan
keterbukaan konsultasi dari si
pasien sebagai pengamalan ilmu pengetahuan, pasien akan
disembuhkan Allah SWT,
sedangkan sang dokter akan
memperoleh “reward-Nya”
atas amalan yang dikerjakan.
Seorang guru pun demikian, Ilmu-Nya sampai kepada
murid-murid atas perantaraan
Allah SWT, sang guru
memperoleh kebaikan dariNya
berlipat ganda atas buah
kesabaran dalam mengajarkan sesuatu, ia memerlukan para
murid untuk mengamalkan ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Ilmu
yang kita punya laksana
hanya setitik debu dibanding
semesta ilmu-NYA. Sosok para orang tua
bukanlah “pihak yang
sengsara” untuk mengurusi
anak-anaknya, namun sang
anak-anak adalah amanah
Allah SWT, orang tua memerlukan anak-anaknya
untuk terus belajar dan
beramal dalam perjuangan
hidup ini, dan kepada Allah
SWT jualah kita berserah
akan penilaian terbaik-Nya.

Sungguh sedih bila mengenang
seorang Fulan yang sakit hati
akibat kesombongan orang
tuanya, padahal Fulan adalah
anak sholeh yang akhlaqnya
baik, cerdas dan selalu ingat akan jasa-jasa ibu bapaknya.
Namun sang ibu yang wanita
karir dan dalam keluarga
mengambil alih “pimpinan”
gara-gara si suami
pengangguran, begitu gegabah dengan berteriak-
teriak, “Jangan sembarangan
kamu mau nikah usia muda,
kalau bukan karena mama,
kamu bisa jadi anak jalanan
tau! Kasih dulu jatah gaji kamu ke mama, itu namanya
anak berbakti! Atau tidak
usah panggil Saya mama lagi!
Anak bodoh!”, si Fulan
bagaikan merasa banyak paku
dilempar ke dalam dadanya, hingga biarpun paku itu
terlepas, luka dan rasa
sakitnya masih terasa. Ia
hanya terdiam, dan
kesombongan kalimat ibunya
malah membuat sang ibu terhina di mata anak-anak
dan orang lain. Si Fulan berpikir dan
merenung, “padahal Saya
tetap sayang pada mamaku
itu, walaupun dia tidak
menyusuiku, walaupun dia
menitipkanku pada budhe, nenek, dan pembantu sejak
bayi, walaupun dulu tiap hari
tangisku mengiringinya karena
ingin ikut ke kantor. Juga
walaupun jika diriku
menginginkan sesuatu, Saya harus menabung dengan
keras untuk membeli sendiri,
bahkan tabungan itu sering
diambil mamaku untuk
keperluan lainnya. Walaupun
tiap hari kata-katanya ketus terhadap papa dan anak-
anak, kami tetap
menyayanginya. Walaupun saat
saya diberi hidayah Allah SWT,
dan menasehatinya, lalu ia
patahkan nasehat itu dengan mengatakan bahwa Saya
‘anak kemarin sore’, harus
ngasih duit dulu yang banyak
buat ortu, baru boleh ngasih
nasehat... Walaupun
hubunganku dengan mama jadi lucu begitu, tapi biarlah Allah
SWT saja Yang Maha Tahu,
Saya sudah berusaha menjadi
anak yang baik, namun di
matanya tetap tidak baik
karena ukuran ‘baik’ baginya adalah berbeda”,
curhatan itu menjadikanku
berkaca diri, memandang
anak-anak kandung sendiri,
lalu berbisik dalam hati,
“Anak-anakku, Ummi tak akan seperti mamanya Fulan.
Kalian adalah anak-anak
titipan Alah SWT, kalian besar
dan sukses kelak atas rahmat
dan kebesaran Allah SWT,
bukan karena ummi atau abi. Jika kalian pandai mencari ilmu
dan menata keimanan, lalu
beramal sholeh, itu sudah
amat sangat
membahagiakanku. Kadar
kesuksesan kalian bukanlah dari jumlah nominal harta
segudang atau segunung
emas permata yang didapat,
melainkan hati kalian yang
berhasil tawadhu’ dan
memahami diri sebagai hambaNYA yang sedang
mencari bekal akhirat. Ya
Allah, kuatkan hati ini untuk
senantiasa istiqomah di jalan-
Mu, amiin.” Masih kuingat kesombongan
seorang om, sebut saja Om
Waswis dan istrinya, Si Tante
Wiswus. Dulu Om Waswis
menampar seorang ikhwan di
jalan raya, lalu mengambil kunci motor ikhwan tersebut,
gara-gara motor butut si
ikhwan membuat lecet sisi
depan mobil Om Waswis.
Sewaktu mereka berlawanan
arah melalui tikungan, kecelakaan kecil itu terjadi.
Sampai sekarang tak tahu
kejadian selanjutnya, terakhir
mamandaku melihat si ikhwan
menyeret motornya sambil
menahan rasa sakit di kakinya, terseok-seok.
Padahal mobil Si Om cuma
lecet sedikit doang, tak ada
pengaruh terhadap laju mobil
di jalan raya. (Semoga saja si
ikhwan pengendara motor itu diberikan kesehatan dan
berkahNya selalu, amiin). Sewaktu saya dan suami
memperjuangkan hari H
pernikahan 9 tahun lalu, Om
Waswis “nyemprot” dengan
lidahnya yang tajam, “Ulang
lagi, pikir-pikir lagi donk! Nyebut-nyebut jihad dalam
rumah tangga, anak bau
kencur kayak kamu ini, Saya
ini naik haji udah dua kali!
Jihad tuh!”, lalu Tante Wiswus
menambahi, “Ri... ri... Bego banget sih! Mau kawin ?!
suami loe guru privat, kakak-
kakak eloe guru-guru doank,
miskin mulu takdir buat kalian
yah! Cari noh yang kayak Om
kamu ini, kerjanya di Bank! Bego koq dipiara!,” glek!
Bayangkan, seorang manusia
bisa sesombong itu, ia
menganggap pernikahan di
usia muda adalah kebodohan,
sedangkan pergaulan bebas, married by accident seperti
dirinya adalah hal yang
lumrah! Naudzubillahi minzaliik,
dan kata-kata itu dilontarkan
di depan banyak orang. Al-
Kibru (kesombongan) adalah “Menolak kebenaran dan
merendahkan manusia”.
Rasulullah SAW bersabda,
“Cukuplah seseorang
dikatakan berbuat jahat jika
ia menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim) Mungkin bagi pendengar lain
yang emosional bisa berdebat
hebat dan membuang waktu
saja dengan menjawab
perkataannya. Bahwa Om
Waswis dan Tante Wiswus menjadikan gelar haji sebagai
lambang kemewahan dan
merasa paling hebat di muka
bumi, padahal membaca ayat
Al-Qur’an pun mereka masih
kalah lancar dengan anak TK. Bahwa budaya perselingkuhan
dalam rumah tangga mereka
sudah jadi rahasia umum bagi
para tetangga, bahwa hasil
didikan ‘ala borju’ pada
anak-anaknya telah membuahkan akhlaq yang
buruk pula pada anak dan
cucu mereka. Benarlah kalimat
Allah SWT bahwa bisa jadi
yang diperolok-olok adalah
lebih baik daripada yang mengolok-olok. Namun, Demi Allah, Saya telah
ikhlas memaafkan, tak pernah
mendo’akan yang buruk-
buruk buat mereka. Allah SWT
adalah Sang Maha Pemberi
Ampun, juga Maha Pemberi balas, bisa dengan mudah DIA
melimpahkan adzabNYA, saat
di dunia maupun di akhirat,
tetaplah segala kejadian yang
berlaku adalah yang terbaik
sebagai skenario-NYA. Dalam beberapa bulan setelah kami
menikah, tiba-tiba orang
tuaku mengabarkan bahwa
bank tempat om waswis
bekerja telah dilikuidasi, lalu ia
pensiun dipercepat. Jangankan melikuidasi bank, “melikuidasi”
nyawa kita pun mudah
bagiNYA. Tahun selanjutnya
manakala rumah tangga kami
kian menaiki tangga-tangga
pencapaian cita-cita, ternyata Om Waswis mendekam di
penjara, entahlah bagaimana
cerita persisnya kami tak mau
ikut campur, info yang
beredar adalah sopir Om
Waswis telah menabrak seseorang hingga tewas, sang
korban melaporkan Om Waswis
ke pihak berwajib karena dia
menolak bertanggung jawab
dan bersikap arogan terhadap
keluarga korban. Sementara tante wiswus malah sibuk
“menempeli” mamandaku,
curhat berlinang air mata
karena suami mendekam di
penjara, dan anak-anaknya
terjerat pergaulan bebas, serta di tengah curhatnya
tentu memelas minta
dikasihani, dan tanpa malu-
malu minta duit pula,
sebutnya, “Bagi-bagi rezeki
lah denganku ini, mbak.. anak- anakmu khan sering kirim
duit, Saya ini seret nih
sekarang..”, dan seterusnya,
tak pelak lagi yang ada di
pikiran orang sombong
hanyalah uang dan uang. Mereka lupa bahwa roda
dunia berputar, suatu kali
kita di bawah dan hendaknya
ikhlas serta optimis berjerih
payah meraih cita-cita,
jagalah ‘izzah diri di kala berada di posisi bawah. Suatu
hari kita di atas dan
hendaknya makin dekat
dengan Allah SWT, sang
pemberi nikmat, sang penitip
amanah-amanah yang kita emban. Lantas berhakkah
sombong, apa guna
sombong ? Sedangkan segala
yang kita punyai hanyalah
titipan saja, hanya sesaat,
mudah bagi Allah SWT untuk mengambilnya kembali. Tak
ada tempat buat kita
bersembunyi dari ketetapan
Sang Maha Kuasa. Nasehat baginda Rasulullah
SAW, “Sedekah itu tidak akan
mengurangi harta. Tidak ada
orang yang memberi maaf
kepada orang lain, melainkan
Allah akan menambah kemuliaan untuknya. Dan tidak
ada orang yang
tawadhu’ (merendahkan diri)
karena Allah, melainkan Allah
akan mengangkat
derajatnya.” (HR. Muslim) Ternyata “apa-apa” yang
kita berikan kepada orang
lain, yaitu harta, berbagi ilmu,
memberi maaf, serta sikap
rendah hati adalah
pengamalan ilmu-Nya yang pasti kita bawa sebagai bekal
di yaumil hisab. Kemuliaan diri
di mata Allah SWT sudah
otomatis akan mulia pula di
mata makhluk lainnya, tak
perlu pongah membangga- banggakan diri. Seorang abangku yang sudah
jadi ilmuwan bercerita bahwa
ketika ketemu guru SD, SMP
dan SMA serta para dosen
saya masih bersalaman takzim
seperti biasanya, saya tidak malu bahkan sangat bangga
pernah belajar dari mereka.
Namun sekarang saking
modernnya, terbalik nih posisi,
bekas mahasiswaku malah
melecehkan... yang dilecehkan kemampuan akademik lagi,
hanya gara-gara nilai
penelitian dia lebih besar dari
yang saya jalani, yang ngasih
nilai kan manusia toh,
sombong sekali. Kalau saya bukan dosen dan tidak
menyadari bahwa ilmu itu
hanya titipan Allah, pasti udah
saya jadikan "hewan
percobaan" barangkali,
hehehe, setengah serius setengah bercanda. Saya jadi ikut tersenyum dan
teringat, memang benar, jika
tak ada keseimbangan
penjagaan iman dalam jiwa,
maka ilmu yang diperoleh bisa
dijadikan “mainan”, setiap orang bisa berbalas curang
sesuka hati, berbalas
melecehkan tanpa takut pada
Sang Ilahi. Seorang ilmuwan,
dokter, guru, penguasa,
penulis berita, dan segala profesi lainnya dapat dengan
mudah tergoda menuliskan hal
fiktif atau memutar balikkan
fakta demi harta dan tahta
bahkan wanita, “amal shalih”
nan sejati dipinggirkan demi kemuliaan di mata penduduk
bumi. Apalagi dengan multi
talenta, pengusaha besar bisa
sekaligus membuat stasiun
televisi dan media massa
sehingga mempengaruhi opini publik, yang salah dibenarkan
lalu kebenaran dipandang
sebagai hal yang salah. Astaghfirrulloh... Bahkan di
kelas dunia, antar-negara
saling merendahkan, bisa
saling lempar bom demi
menunjukkan kekuasaan
super. Para pejabat yang berilmu dengan kerapuhan
iman, makin terlupa akan
borok-borok hitam korupsi
dan kolusi yang terus saja
meraja-lela. Nominal milyaran
dana rakyat lenyap, tapi “cuma” dihukum "bobo’ di
penjara" 3 tahun saja,
misalnya, atau tindakan moral
yang bejat dengan
“mengamalkan ilmu seksual”
bukan pada tempatnya, yang jelas-jelas melanggar segala
norma dan aturan hukum,
ternyata bisa “dimaklumi”,
dan juga dikenai sangsi
penjara beberapa tahun saja.
Sekelumit sangsi yang dibuat itu pun bisa direkayasa
dengan “ilmu”, naudzubillahi
minzaliik. Selanjutnya ilmu
perekayasaan itu dijadikan
alat untuk sombong,
layakkah ? Banggakah mengikuti sifat setan
tersebut ? Ilmu yang dipakai
untuk merekayasa dan
melanggar aturan Allah SWT
adalah tidak membawa
manfaat bagi diri sendiri, di dunia dan akhirat, dengan
mudah akan menjadi hina di
mata Sang Khaliq dan
semesta. Dan Rasulullah SAW
pernah mengingatkan bahwa
tak akan masuk surga orang- orang yang sombong. Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i
berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah —shallallahu‘alaihi
wa sallam— bersabda,
“Maukah kamu aku beritahu
tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-
orang keras lagi kasar, tamak
lagi rakus, dan takabbur
(sombong).“ (HR. Bukhari No.
4918 dan Muslim No. 2853) Wallohu ‘alam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar